Cerpen " BIAN "

Zalfa Zahrani Adiba-Santri Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan bersama teman-temannya. (tim)

Tabloid NPP - Terkadang, hidup sesorang memiliki alur yang berbeda. Hidup sederhana dengan kondisi ekonomi relative rendah, membuat Bian harus rela berbagi dan mengalah dengan Rusmin, adiknya. Mengapa Bian yang berkulit hitam, berwajah pas-pasan harus selalu menjadi cemoohan orang-orang? Mengapa Bian selalu menjadi kambing hitam antara orang tuanya? Mengapa Bian yang harus berbeda?

Semilir angin berhembus kencang, nyiur melambai-lambai beriringan dengan suara ombak yang bekejar-kejaran. Bisikan raja klana sangatlah mendramatisasi suasana pagi hari didesa tanjung labu, desa kecil dipesisir pantai. Biasannya, setiap insan yang hendak menjalani aktivitas akan terhasut dengan suasana seperti ini. Mereka akan melanjutkan mimpinya yang panjang. Namun tidak dengan seorang gadis yang kini sibuk dengan setumpuk pakaian siap cuci. Tak perduli dengan awan yang sedikit menghitam, udara yang dingin, serta bercak-bercak merah dikulitnya akibat gigitan nyamuk. Gadis itu bernama Bianty, ia sedang sibuk melaksanakan rutinitas paginya yaitu mencuci pakaian. Persedian air bersih yang kurang memadai menuntut Bian untuk bolak-balik menuju sumur dan mengangkut air berliter-liter. Mungkin, hal inilah yang membuat fisik Bian semakin kekar. Padahal usia antusias menolong pekerjaan orang tuanya. Ia mampu dan antusias menolong pekerjaan orang tuanya. 

“Bian, emak dan abah berangkat dulu, jaga Rusmin dan jangan biarkan dia tidur sepanjang hari, teriak emak dari dalam rumah. Bian bergegas masuk kedalam rumah dan cium tangan emak.

“Tolong jemur ikan asin dibawah meja makan itu ya nak, doakan emak dan abah dapat ikan banyak hari ini supaya besok kita bisa makan enak,” ucap emak.

“iya mak, hati-hati ya mak, “Bian melambaikan tangan kepada emak yang mulai menyusul abah. Bian melambaikan tangan kepada emak yang mulai menyusul abah. Bian melihat abah sedang menyalakan mesin perahu. Memang, profesi emak dan abah Bian adalah nelayan. Hal tersebut menyesuaikan dengan mata pencaharian yang dominan didesa. Setiap keluarga didesa itu pasti berprofesi sebagai nelayan. Terkadang, jika memikirkan berlabuh dilaut lepas beserta ombak yang menerjang membuat Bian bergidik ngeri. Namun, disisi lain Bian merasa bangga dengan perjuangan kedua orang tuanya.

Akhir pecan tidak mempengaruhi seorang Bian untuk bersantai-santai. Justru, Bian merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya. Setelah mencuci, Bian akan melanjutkan pekerjaan rumah yang lain. Bian menhembuskan nafas lega saat ia memeras pakaian yang terakhir. Tugas menjemur akan bian serahkan kepada Rusmin yang kini sedang tertidur pulas. Dan sekarang bian akan membangunkan Rusmin teringat pesan emak untuk tidak membiarkan Rusmin tidur sepanjang hari. Bian masuk kekamar dan memandangi Rusmin yang tengah meringkuk dalam selimut. Bian bertanya –tanya dalam hati, jika difikirkan matang –matang, ia dan rusmin lahir dari Rahim yang sama, aliran darah yang sama, berlindung ditempat yang sama walaupun 1 tahun jarak usia keduanya. Mereka juga sama-sama duduk dikelas akhir tingkat menengah pertama dikarenakan mendaftar sekolah diwaktu yang sama. Tetapi, mengapa Bian sangat bertolak belakang dengan Rusmi? Rusmi yang rupawan bak kembang desa, rusmi yang cerdas terkadang membuat Bian merendah diri dihadapan orang-orang. Bian yang selalu dicemooah teman-teman sekelasnya dikarenakan fisiknya yang tidak sesuai dengan adik kandungnya sendiri, Bian yang dituduh sebagai kakak angkat Rusmin hanya bisa bersabar dengan takdirnya. Bahkan Bian merasa 70 % kasih saying emak dan abah tercurah untuk rusmi seorang. Bagi Bian, kondisi Rusmin yang dimanja oleh emak dan abah membuat diri Rusmin menjadi anak yang congkak. Ia bahkan tidak menghormati Bian sebagai kakak kandungnya. Ia suka membentak Bian, menyuruh –nuruh bian, bahkan selalu membanding –bandingkan kelebihannya dengan Bian. Ingin rasanya Bian mengadu kepada emak dan abah, tapi pastilah Rusmin yang akan mendapat pembelaan. Namun Bian tidak pernah ambil pusing atas masalah itu. Toh, selagi emak dan abah masih menyekolahkan dan memberi makannya, Bian tidak akan menyerah.

“Rusmin, Rusmin ayo bangun hari sudah siang, “Bian menepuk pelan pipi Rusmin dan membuat Rusmin menggeliat layaknya cacing kepanasan.

“Ayo bangun, kita sarapan dulu setelah itu tolong jemurkan pakaian yang sudah ku cuci, “ucap Bian.

“Iya iya, jangan mengoceh terus ah! “ kata Rusmi. Ia pun bangkit dari kasur dengan mengentak-entakkan kaki. 

Kemudian Bian menyusul langkahnya menuju dapur. Dilihatnya dimeja makan Rusmin sedang sarapan. Secepat kilat Rusmi menghabiskan sarapannya tanpa sisa.

“Rusmin pakiannya sudah bisa dijemur sekarang, takutnya tidak kering jika ditunda, “ ucap Bian seraya membereskan piring. 

“Eh kak! Aku ini enggak pikun. Udah merintah, jangan banyak omong. Aku lagi pusing nih, “ entak rusmi dengan wajah yang ditekuk. Rusmi bergegas mengambil ember berisi pakian bersih dan menjemurnya secara sembarangan. Bian menggelengkan kepalanya, ia sudah terbiasa dengan perlakuan rusmi yang semena-mena kepadanya. Mau tidak mau, sikap dewasanya sebagai seorang kakak harus selau ia terapkan. 

“Kak, pakiannya sudah aku jemur. Aku mau kerumah dinar dulu, “ ucap rusmi

“Rusmi, bantu kakak menjemur ikan asin dulu. Kakak tidak sanggup jika menjemur sendirian, “ ujar Bian lembut.

“Enggak usah manja kak, urusan aku lebih penting. Sudah aku pergi dulu, “ Rusmi melangkah keluar rumah, tak memperdulikan Bian yang memanggilnya berulang kali. Ingin rasanya Bian menangis saat itu. Hatinya serasa teriris melihat sikap adiknya itu. Bian memandang punggung Rusmi yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. Pandangannya kemudian tertuju pada pemandangan indah laut pasang dihadapannya. Entah mengapa perasaannya yang membuncah tadi hilang seketika. Pemandangan pantai itu seolah –olah menjadi penenang bagi Bian dikala terpuruk. 

“Bian?” Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunan Bian. Bian menoleh, ternyata itu adalah Kinan sepupunya yang tinggal disebelah rumahnya. 

“Kinan, ada apa? “ Kata Bian 

“Ini dari ibuku, lauk untukmu dan rusmi,” Kinan menyodorkan piring plastik berisi ikan pari balado.

“ Alhamdulillah, kebetulan kami tidak punya lauk untuk siang dan malam nanti. Bilang ke bibi terima kasih, “ Bian menerima piring itu dari tangan Kinan.

“Iya Bian, ngomong-ngomong, kamu kelihatannya sedang bersedih. Ada apa Bian?” Tanya Kinan penasaran.

“Tidak, aku baik –baik saja. Oh ya Kinan, apakah kamu mau membantuku? “Tanya Bian dengan mata berbinar-binar.

“Membantu apa? Memangnya Rusmi tidak ada?” Kinan balik bertanya.

“Rusmi pergi kerumah Dinar. Emak menyuruhku menjemur ikan asin, sedangkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan. Mau tidak kamu yang menjemurnya? “ Pinta Bian. Kinan mengangguk seraya tersenyum.

“Okey. Mana ikannya?” Tanya Kinan. Bian bergegas pergi kedapur untuk mengambil nampan kemudian menyerahkannya kepada Kinan. 

“Terima Kasih Kinan, aku masuk dulu ya. Cucian piring menumpuk, “ Kata Bian dan disambut senyuman simpul dari Kinan. Bian bersyukur dalam hatinya ternyata masih ada orang yang perduli padanya. Seandainya ia memiliki adik seperti Kinan, pasti dia akan selalu bahagia, namu itu hanya khayalan Bian semata. 

Semburat jingga terlukis dilangit dengan eloknya. Tak terasa hari mulai beranjak petang. Bian telah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Meski kelelahan, Bian tetap merasa bahagia karena ia merasa telah mengurangi beban pekerjaan emaknya. Satu hal yang sedang ia khawatirkan bahwasannya Rusmi belum juga kembali. Padahal ia keluar semenjak pagi tadi dan sekarang sudah hamper magrib. Bian takut nanti jikalau Emak dan Abah sudah pulang sedangkan Rusmi tidak ada dirumah, pastilah dia akan menjadi sasarannya. Untuk itu, Bian berniat untuk mencari Rusmi saat ini. 

“Assalamu’alaikum, “ ucap seorang dari luar Bian terhenyak, itu adalah Emak dan Abah.

Rasa takut menyelimuti Bian, tidak biasanya Emak dan Abah kembali secepat ini. Biasanya setelah isya’ baru Emak dan Abah pulang, tapi kali ini tidak. Dengan memberanikan diri Bian membuka pintu rumah. Dilihatnya wajah lelah Emak dan Abah kemudian ia segera menyalimi tangan keduanya.

“Mana Rusmi?” Tanya Abah seraya berjalan masuk kerumah

“Aa.. anu, Ru.. Rusmi, “ Bian menjawab dengan terbata –bata 

“Jawab bian! kemana Rusmi!” nada bicara Abah mulai meninggi. Lidah Bian terasa kelu, keringatnya mengucur deras. Ia sangat takut akan kemarahan Abah. 

“Maafkan Bian Bah, Rusmi tidak kembali dari pagi bah, itu gara –gara Bian mengajaknya menjemur ikan asin bah,” Bian menangis tersedu-sedu. Plak plak !! satu tamparan mendarat diwajah Bian. Abah sangat tersulut emosi sampai tega menamparnya.

“ Cari Rusmi! Sebelum ia ketemu, jangan kembali kamu!” ujar Abah.

“Emak tidak menyangka Bian, setega ini kamu dengan Rusmi. Itu adikmu nak, adik kandungmu” emak yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. 

“Tidak mak, Bian tidak bersalah. Bian hanya mengajak Rusmi untuk,” omongan Bian terpotong.

“Jangan membantah Bian!” bentak Abah yang membuat tangis Bian semakin kencang.

“Assalamu’alaikum, Emak, Abah, “ ucap Rusmi yang baru pulang. Wajahnya tampak ceria seolah tidak terjadi apa-apa. 

“Masyaallah Rusmi, dari mana saja kamu nak?” Tanya emak yang segera menghamburkan pelukannya kepada Rusmi.

“Dari rumah Dian mak, kami bermain sepanjang hari. Lihat Ma, Bah, kukuku baguskan jika diwarnai seperti ini?” ucap Rusmi sumringah seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang diwarnai daun pacar air.

“Kami sangat khawatir Nak, kami kira kamu pergi kemana,” Abah tersenyum lembut sembari nemepuk pelan kepala Rusmi. Kemudian Emak dan Abah mengajak Rusmi keruang tamu untuk berbincang bincang, sementara Bian diacuhkan saja. Hati Bian sangat sakit tetapi dia hanya bisa menangis. Gara –gara Rusmi ia mendapatkan tamparan dan bentakan seorang Abah. Karena ulah Rusmi, ia bagaikan anak tiri dirumah ini. 

“Emak, Abah, maafkan Bian,” gumam Bian pelan. Ia segera masuk kekamar dan menelungkupkan wajahnya dibantal. Ingin rasanya Bian menangis sejadi-jadinya namun itu hanya membuat hatinya semakin rapuh. Bian harus kuat, ia harus selalu menghormati kedua orang tuanya walau terkadang ia merasa tidak diadili. Emak dan Abah tetap menjadi salah satu cara Bian untuk menguatkan diri. 

“Kak Bian,” suara lirih Rusmi tertangkap indra pendengaran Bian.

“Ada apa?” Bian menoleh menatap Rusmi. 

“Dipanggil Emak dan Abah diruang tamu sekarang,” ucapnya.

Mendengar itu Bian segera beranjak menuju ruang tamu. Ia pun duduk disebelah rusmi tepatnya didepan Abah. 

“Bian, minta maaflah pada Rusmi atas kesalahanmu,” kata Abah.

Bian terkejut bukan main. Mengapa harus ia yang minta maaf bukannya itu kesalahan Rusmi? Tapi untuk memperkecil masalah, Bian mengulurkan tangannya kepada Rusmi. Rusmipun menyambut uluran tangan Bian. 

“Jadi begini, anak –anakku sekalian,“Abah memulai pembicaraan. 

“Kondisi ekonomi keluarga kita yang rendah ini tidak akan cukup untuk membiayai seluruh keperluan kalian terutama dalam hal pendidikan. Beberapa bulan ini tangkapan ikan emak dan abah menurun drastis, air laut pasang, gelombang tinggi, bahkan angina kencang. Untuk itu, dikarenakan kamu sudah duduk dikelas akhir, hanya salah satu dari kalianlah yang akan emak dan abah sekolahkan, “ ucap Abah.

“ Maksud Abah?” Bian kebingungan dengan pernyataan abah.

“Abah tidak sanggup jika harus menyekolahkan kamu berdua sekaligus. Jadi Emak dan Abah memutuskan untuk memilih salah satu diantara kalian yang layak melanjutkan kejenjang menengah atas. Dan kalian berdua harus bersaing saat Ujian Nasional nanti. Nilai yang paling besar diantara kalian berdualah yang akan disekolahkan, “ucap Abah.

“Jika hanya satu yang terpilih, bagaimana nasib yang satunya lagi bah? “ Tanya Rusmi.

“mungkin dia akan membantu emak dan abah bekerja,” jawab Emak.

Bian terdiam. Bagaimana jika ia yang tidak terpilih? Bagaimana jika ia yang tidak disekolahkan? Pertanyaan itu seolah-olah menghantui pikiran Bian.

“Baiklah kalau begitu. Semuanya ada ditangan kalian, berusalah jika masih ingin sekolah. Jangan berleha-leha, “ ujar Abah

“sekarang, masuklah kekamar dan belajar. Sebentar lagi kalian akan melaksanakan UN, “kata Emak

Rusmi dan Bian bergegas menuju kamar mereka. Bian semakin tidak percaya diri. Apalagi jika dibandingkan Rusmi yang selalu mendapat peringkat 1 dikelasnya. Bian hanya bisa memasrahkan semua kepada Allah.

“Kak, kamu yakin bakalan terpilih? “ Tanya Rusmi.

“Aku tidak yakin. Tapi jikalau Allah berkehendak, apapun yang mustahil pasti akan terjadi.” Ucap Bian tersenyum

“Insya Allah aku akan membuktikannya. Walaupun menurutmu mustahil, aku akan terus berusaha,” Bian menguatkan dirinya.

“Kita liat saja nanti,” Rusmi tersenyum puas.

Bian sedang dihantui persaan tidak enak sekarang. Bagaimana jika yang dikatakan Rusmi itu benar? Bian sangat takut. Ia masih ingin sekolah, ia memiliki cita-cita yang harus dicapainya. Ia tak ingin putus sekolah, ia ingin membanggakan Emak dan Abah dengan kesuksesannya.

“Seminggu lagi UN, aku harus belajar dengan giat, harus! “ gumam Bian.

Hari demi hari berlalu, tak terasa hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rusmi dan Bian akan menjalani ujian nasional. Hari inilah penentu nasib antara mereka. Bian berharap banyak atas usaha belajarnya selama ini. Walaupun tidak maksimal, setidaknya Bian memiliki bekal untuk menjalani ujian.

“Selamat ujian ya kak, “Rusmi tersenyum penuh kemenangan. Bian melihat seperti ada ejekan disenyumnya. Bian tak menghiraukan, ia tetap focus pada buku bahasa indonesianya. Jam menunjukkan pukul 10:15, saatnya peserta UN sesi 2 untuk masuk keruangan. Bian meyakinkan dirinya ia bisa untuk melaksanakan ujian ini.

“Aku harus bisa, aku tidak ingin putus sekolah,” tekad Bian.

Bian mengerjakan soal-soal dengan penuh khidmat. Ia membaca soal dengan sangat teliti tanpa terlewatkan sedikitpun. Lantunan istighfar selalu keluar dari bibirnya setiap mengerjakan soal yang sulit. Bian benar-benar antusias saat ini.

Tak terasa, keempat mata pelajaran UN telah tuntas dilewati Rusmi dan Bian. Mereka tak menyangka secepat itu waktu berlalu. Sekarang, mereka hanya tinggal menunggu hasilnya. Bian menjadi rahasia Allah segalanya, entak itu Bian ataupun Rusmi yang akan melanjutkan sekolahnya.

“Aku sudah tak sabar lagi menunggu hasilnya, kata Rusmi.

“Sabar Rusmi, tidak perlu terburu-buru,” tukas Bian lembut.

“Kakak pasti takut terkalahkan olehku, “ ucap Rusmi.

“Tidak perlu takut padamu Rusmi, tidak ada untungnya, “ sahut Bian

“Haha, siap –siap kecewa ya kak,” kata Rusmi

BIan mengepalkan tangannya, ia sangat keki mendengar ucapan Rusmi, ingin rasanya ia melabrak dan menampar Rusmi. Berulang kali ia beristighfar sampai akhirnya Emak menyuruhnya untuk pergi keruang tamu.

“Bian, Rusmi. Emak dan Abah mendapat kabar dari Wali kelas kalian tentang hasil ujian kemarin, “ ucap Emak

Bian menelan ludah, ia merasa tak sanggup untuk mendengar hasil ujiannya. Dengan berani Bian bertanya kepada Emak

“Bagaimana Mak? Rusmi atau Bian yang layak melanjutkan sekolah? “ Tanya Bian

“Dengan bangga emak ucapkan kepada Rusmi karena berhasil meraih nilai UN tertinggi disekolah,” Jawab Emak seraya memeluk dan mencium kening Rusmi.

Bian shock bukan main, usahanya selama ini sia –sia. Jantungnya berdegup kencang, keringatnya mengucur deras. Tak terasa, air mata jatuh dipelupuk matanya.

“Ja- jadi M- mak, Bian a –kan be- berhenti sekolah?” ucap Bian dengan bibirnya yang gemetar.

“Tentu Bian, cukup Rusmi saja yang melanjutkan cita –citanya. Kamu harus bisa mengerti kondisi Emak dan Abah sekarang,” ujar Emak.

“Tidak Mak, Bian ingin sekolah Mak. Emak jahat!” ucap Bian. Seraya berlari keluar rumah. Ia menangis sejadi –jadinya. Pasir pantai pun berterbangan diudara akibat lemparan Bian. Ia sangat kecewa dan mengutuk dirinya sendiri. Sangat tak terbayangkan betapa pilunya hati Bian saat melihat Rusmi mengenakan seragam abu –abu sedangkan dirinya hanya berpakian lusuh. Keinginan Bian hanya satu, ia hanya ingin mencapai cita –citanya. Bian berteriak sekencang –kencangnya disaksikan oleh keindahan pantai. Ingin rasanya Bian mengasingkan diri dari dunia ini, menjauh dari kehidupan Emak, Abah dan Rusmi. Pikirannya sangat kacau sekarang, air matanya terus mengucur tanpa henti.

“Dik?” panggil seseorang dari belakangnya

Bian menoleh seraya menghapus air matanya, seorang perempuan cantik yang mengenakan jilbab berjalan menghampiri dan duduk disebelahnya.

“Kamu kenapa? Dari tadi kakak melihat kamu menangis. Apa yang terjadi?” Tanya perempuan itu lembut.

Bian menggeleng, ia tidak akan membocorkan masalah pribadinya pada orang yang tidak dikenal.

“Hmm, oke. Perkenalkan nama kakak Fatimah Az-Zahra, cukup panggil kak Faza. Rumah kakak digang sawo dek, kakak anak-nya Pak Ali yang punya pabrik ikan asin,”ucapnya. “Kamu bolehkok cerita tentang masalahmu sekarang kepada kakak. Insya Allah akan kakak kasih solusi,” lanjutnya lagi.

Bian akhirnya tersenyum. Kemudian ia segera menceritakan masalahnya kepada Kak Faza. Kak Faza mendengarkan cerita Bian dengan seksama. Sesekali ia mengangguk mendengarkannya.

“Keinginan Bian hanya satu Kak. Bian hanya ingin sekolah dan meneruskan cita –cita Bian,” Bian kembali menitikkan air mata.

“Oh jadi itu masalahnya. Bian, kakak salut dengan keinginan Bian itu. Disaat niat Bian ingin sekolah, tetapi ada hambatan seperti ini. Kakak tidak ingin cita –cita yang sudah Bian susun kandas begitu saja. Untuk itu, apakah boleh jika kakak ingin menyekolahkan Bian?” ucap kak Faza.

Bian terkejut bukan main “yang bener kak?” Bian masih tidak percaya.

“Iya Bian. Bian berhak untuk sekolah dan meneruskan cita –cita Bian. Tapi Bian harus berjanji pada kakak untuk selalu bersungguh –sungguh dalam belajar,” kata kak faza seraya tersenyum.

“Terima kasih kak Faza. Apa perlu kak, Bian bekerja dipabrik pak Ali untuk balas budi Bian?” Tanya Bian.

“Tentu tidak Bian. Kakak tidak perlu balas budi Bian karena kakak ikhlas melakukannya. Tetapi kalau Bian mau, Bian boleh kok membantu membungkus produknya,” jawab kak Faza

“Ia kak, Bian pasti mau,” tukas Bian

“Baiklah, besok dating ya kerumah Kak Faza. Kita daftarkan nama Bian di SMAN 1 Tanjung

 Labu,” kata Kak Faza

Bian tersenyum dan secara spontan ia memeluk tubuh Kak Faza.

“Oke, sekarang Bian pulang dan minta restu kepada Emak dan Abah, ya,” ucap Kak Faza

Bian pun segera pulang kerumah dengan perasaan senang. Ia pun menceritakan kebaikan Kak Faza kepada Emak dan Abah.

Emak dan Abah juga senang karena kedua anaknya melanjutkan sekolah walaupun kondisi ekonomi mereka tidak mendukung. Yang diharapkan mereka hanyalah kebahagiaan kedua anaknya.

Esoknya, Bian dan Kak Faza pergi mendaftar sekolah. Setelah itu mereka membeli seluruh perlengkapan sekolah Bian dari mulai seragam, sepatu, buku, tas dan lain –lain. Bian sangat senang karena keinginannya untuk sekolah dapat tercapai. Ia berjanji kepada Kak Faza untuk selalu bersungguh-sungguh.

Takdir dan ketetapan Allah memang telah diatur untuk hamba –hamba-Nya. Kesabaran dan keikhlasan merupakan kunci utama untuk mengharap Ridho-Nya. Inilah, Bian. Kesabarannya membawa ia menuju kebahagiaan.

Ogan Ilir, 6 November 2020

Penulis : Zalfa Zahrani Adiba - Santri Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan

(Naskah Cerita Pendek pernah diikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen yang diselenggaran Oleh Al-Ittifaqiah Press 2020)

Pewarta : Joni Guswara

Diberdayakan oleh Blogger.